KITA YANG MULA LUPA HAKIKAT DIRI KITA
Manusia diberi hak hidup oleh Allah swt. Bukan untuk hidup semata, melainkan ia diciptakan oleh Allah untuk mengabdi kepada-Nya. Dalam rangka pengabdian inilah, manusia dibebani kewajiban/taklif yang sangat erat kaitannya dengan usaha dan kesungguhan manusia itu sendiri. Selanjutnya dalam kehidupan manusia selalu dipengaruhi berbagai faktor yang saling berkaitan satu dan yang lainnya. Oleh karena itu manusia dalam berikhtiar melaksanakan taklif, berkewajiban mengendalikan dan mengarahkan faktor-faktor yang mempengaruhi kehidupannya, guna mencapai kebahagian yang hakiki yaitu kebahagiaan dunia dan akhirat.
Manusia atau yang biasa disebut oleh Allah dalam Al Qur’an dengan sebutan bani adam mempunyai kedudukan yang sangat mulia, bahkan mahluk Allah yang paling mulia diantara mahluk-makhluk Allah yang lain. Nilai lebih yang diberikan Allah ini merupakan pembeda manusia dengan ciptaan Allah yang lain. Namun “kemulian/ karamah” manusia ini ada nilai konsekuensi yang berat. Kenapa? Karena pada diri manusia terdapat nafsu yang tidak selamanya dapat diajak kompromi untuk menjalankan ketaatan kepada Allah swt. Nafsu inilah yang sering membuat manusia tidak konsisten pada nilai kemanusiaanya dan bahkan sering sekali menelantarkannya dalam kehinaan. Diantara pemberiaan Allah kepada manusia adalah diberikanya kemampuan fisik dan berfikir. dua kemampuan ini yang pada dasarnya akan menumbuhkan sumber daya manusia, sekaligus akan memacu manusia untuk mencapai kualitas terbaiknya, bila di barengi dengan kemauan untuk berusaha. Disisi lain meskipun memiliki nilai karamah/ kemuliaan, manusian dalam Al-Qur’an tetap sebagai abd/ hamba. seorang hamba berarti dia punya tanggung jawab yang melekat pada dirinya. Manusia dalam kapasitasnya sebagai hamba Allah dia mendapatkan tanggung jawab (taklif) yang harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dan kemampuannya.
Sejauahmana manusia mampu memenuhi taklif, sejauh itu pula ia mempertahankan nilai kemuliaanya/ karamahnya. Sejauhmana manusia mengabdikan dirinya kepada Allah maka selama itu juga ia melaksanakan tanggung jawabnya sebagai abd. Ini mengandung arti bahwa manusia didalam hidup dan kehidupannya selalu harus beribadah kepada Allah swt. Karena Allah tidak menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Nya. QS. Azzariyat 56: “Tidak Aku jadikan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepadaKu”. Meskipun manusia berstatus sebagai hamba, tapi manusia diberi kedudukan sebagai khalifah Allah dengan berbagai tingkat dan derajatnya, dalam hubungannya secara bertikal dengan Allah ataupun hubungan horizontal sejajar antar sesama manusia. Khalifah sebagai pengganti, ia diberi wewenang terbatas sesuai dengan potensi diri dan posisinya. Namun manusia harus faham bahwa wewenang itu pada dasarnya adalah tugas yang harus di emban dengan penuh tanggung jawab. Tugas khalifah dalam Al Qur’an biasa disebut imaratul ardh (memakmurkan bumi) dan ibadatullah (beribadah kepada Allah). Allah menciptakan manusia dari bumi ini dan menugaskan manusia untuk melakukan imarah dimuka bumi dengan mengelola dan memeliharanya. Karena manusia dalam melaksanakan tugas dan wewenang imarahnya sering melampaui batas, sering melanggar dan bahkan mengambil hak saudaranya, maka Allah meberikan solusi dengan cara bertaubat kepada-Nya. Imaratul ardh yang berarti mengelola dan memelihara bumi, tentu saja bukan sekedar membangun tanpa tujuan apalagi hanya untuk kepentingan diri sendiri.
Tugas membangun justru merupakan sarana yang sangat mendasar untuk melaksanakan tugasnya yang inti dan utama yaitu ibadatullahin (beribadah kepada Allah). Lebih dari itu adalah sebagai sarana untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat yang menjadi tujuan utama. Maka dari pengkajian ini dapat kita pahami, manusia dalam konsepsi Al Qur’an adalah manusia ibadatullah dan imaratul ardh. Dan kedua hal ini sangat berkaitan antara satu dan yang lainnya. Hal ini yang telah di contohkan oleh Allah melalui Rasulullah saw. Ketika hijrah ke Madinah, sesampainya di tujuan (Madinah) Rasulullah membangun bangunan monumental dan bersejarah yang sampai hari ini masih dilestarikan bahkan terus di kembangkan. Dua bangunan yang dimaksud adalah masjid (Quba) dan pasar. Tidak seharusnya ada kesenjangan antara mssjid dan pasar karena pada dasarnya kedua hal tersebut menyatu dalam jiwa manusia. Allah swt. Dalam Al Qur’an memerintahkan kepada manusia agar mampu berpacu dalam kebaikan (fastabiqul khairat). Perintah ini dipahami untuk menumbuhkan sikap dan prilaku kompetisi untuk mencapaik al khairat/ kebaikan, yang berarti memerlukan dinamika tinggi dan berkualitas, serta dibutuhkan juga wawasan kreatif dan inovatif yang luas, disamping daya analisis untuk mengantisipasi proses transformasi menuju masa depan. Pembangunan kualitas manusia dipahami sebagai metode yang menitik beratkan pada program-program. Tapi wujud dari dinamika ini adalah gerakan- gerakan yang selalu menuntut kita untuk giat bekerja dan berbuat yang terbaik. Hal ini sebagaimana yang di contohkan oleh Rasulullah saw. Dalam kesehariannya, Rasul selalu mempunyai kesibukan bahkan sampai membantu istri-istri beliau dalam menjait baju dan sendal.
Diriwayatkan dalam hadis: ” seberat-berat siksa manusia pada hari kiamat adalah orang yang hanya dicukupi orang lain dan menganggur”. Kualitas manusia pada dasarnya ditentukan oleh potensi dirinya. Potensi diri yang membentuk kualitas ini meliputi berbagai aspek kehidupan. Secara umum potensi yang telah diberikan oleh Allah swt. Kepada setiap manusia mukallaf (aqil, baligh) adalah potensi akal dan fisip. Potensi akal berkembang menjadi ilmu pengetahuan sedangkan potensi fisik berkembang menjadi ketrampilan, semangat berkarya dan lainya. Allah swt. Berfirman QS. Al Qashsas 26: “sebaik-baik orang yang kamu serahi tugas mengupayakan sesuatu adalah orang yang berpotensi dan berkemampuan menerima amanat serta terpercaya. Dalam ayat ini mengandung pesan bahwa setiap usaha apapun untuk mencapai prestasi, menuntut adanya potensi dan amanah yang membentuk kualitas.
Semoga kita bisa mengemban tugas dari Allah yang telah dimandatkan, yaitu tugas sebagai hamba Allah untuk mengabdi dan beribadah kepada-Nya dan tugas khalifah untuk memakmurkan dan menjaga bumi dari keserakahan dan nafsu angkara.
Post a Comment
0 Comments